SELATPANJANG - Perjuangan Raden Ajeng Kartini belum berakhir. Hingga saat ini, masih banyak Kartini Kartini lain berjuang mati-matian dem...[read more] "> SELATPANJANG - Perjuangan Raden Ajeng Kartini belum berakhir. Hingga saat ini, masih banyak Kartini Kartini lain berjuang mati-matian dem" />
 
Home
Dinas Kesehatan Kota Dumai Laksanakan Lomba Balita Sehat Yang Diikuti Ratusan Peserta | Tirta Kahuripan Tetap Menjaga Pasokan Air Kepada Pelanggan Di Masa Libur Lebaran | Wakil Ketua DPRD Kampar Repol Singgung Infrastruktur Pendidikan | Wakil Ketua DPRD Kampar Fahmil Berharap Terus Tingkatkan Pelayanan kepada Masyarakat Selama Ramadan | Hari Jadi Kabupaten Kampar ke 74, DPRD Menggelar Rapat Paripurna Istimewa | Rapat Paripurna Resmi di Buka Oleh Ketua DPRD Kampar M Faisal. ST di Ruang Rapat Paripurna .
Kamis, 28 Maret 2024
/ Meranti / 20:53:27 / Rela Mengajar Tanpa Gaji Karena Takut Terindikasi Pungli /
Rela Mengajar Tanpa Gaji Karena Takut Terindikasi Pungli
Jumat, 21/04/2017 - 20:53:27 WIB
Saloma (jilbab warna hijau), foto bersama murid-muridnya - ist

REALITAONLINE.COM,SELATPANJANG - Perjuangan Raden Ajeng Kartini belum berakhir. Hingga saat ini, masih banyak Kartini Kartini lain berjuang mati-matian demi kecintaannya pada daerah dalama upaya menyelamatkan generasi penerus bangsa.

Seperti yang dilakoni Saloma, warga Desa Lukit Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Perempuan kelahiran tanggal 26 Februari 1977 itu sangat prihatin dengan keadaan masyarat terutama generasi penerus di Desa Lukit.

Dalam bincang-bincang dengan GoRiau, Saloma mengaku sedih melihat kondisi perekonomian di desanya. Rendahnya tingkat perekonomian warga pasti berdampak pada pendidikan anak.

Diceritakan Saloma, kalau anak-anak Lukit mau melanjutkan sekolah ke SMA, hanya ada di Telukbelitung yaitu SMAN 1 Merbau. Untuk sampai ke sana, anak-anak dari Desa Lukit harus menempuh satu jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Jangankan harus memiliki sepeda motor untuk ke sekolah, bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah bersyukur rasanya.
Sementara ia sendiri tidak tega melihat generasi penerus bangsa di Desa Lukit hanya bisa menyelesaikan sekolah di tingkat menengah pertama (SLTP). Ia pun berinisiatif membuka lokal jauh. "Saya tak ingin anak-anak di desa tidak tamat SMA," kata Saloma, Jumat (21/4/2017).

Dengan tekad yang bulat ingin membantu masyarakat, tahun 2010 Saloma membuka lokal jauh SMAN 1 Kecamatan Merbau di Desa Lukit. Ia menjadi pengelola di sana. Saloma berkoordinasi dengan salah satu MDA di Desa Lukit untuk meminjamkan ruangan selama proses belajar mengajar.

Singkat cerita, 2010 itu sudah terbentuk lokal jauh SMAN 1 Merbau di Desa Lukit. Tahun pertama, lokal jauh hanya ada 8 orang guru (termasuk dirinya, red) dengan siswa sekitar 23 orang.

Sejak itu, lokal jauh dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat Desa Lukit. Setiap ajaran baru pasti ada saja siswa mendaftar ke sana. Guna meningkatkan pelayanan (mengajar) ke siswa, Saloma menambah 3 orang guru lainnya sehingga di sana ada 11 guru.

Karena keuletan Saloma dan guru-guru di lokal jauh, tahun 2013 mereka berhasil meluluskan 23 siswa. Lalu, 2014 meluluskan 9 siswa, 2015 meluluskan 9 siswa, dan 2016 orang meluluskan 12 siswa.

Awalnya lokal jauh yang dikelola Saloma berjalan lancar dan baik sampai tahun 2016.

Tapi, memasuki 2017, Saloma mendapat ujian berat. Kebijakan yang selama ini ada di lokal jauh terbentur ketika Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Kepulauan Meranti terbentuk. SPP dari orang wali murid tak lagi bisa diambil, akibatnya guru yang mengajar di lokal jauh tak ada gaji.

Diceritakan Saloma, sejak 2010 hingga 2016, mereka menerima sumbangan dari wali murid (SPP, red) sebesar Rp50 ribu dari tiap-tiap siswa. Uang itu, dibagi rata kepada guru yang mengajar. Sebab, guru di lokal jauh Desa Lukit statusnya honor komite, satupun tak ada honor daerah.

"Wali murid tidak keberatan membayar Rp50 ribu persiswa, itu lah dana yang kami terima tiap bulan," kata Saloma.

Sedangkan dari sekolah induk SMAN 1 Merbau, mereka hanya dibantu alat tulis kantor (ATK). Mereka tidak dibenarkan mengelola dana BOS. Kesedihan yang lain, guru di lokal jauh satupun tak terdaftar di Dapodik. Sehingga, gaji yang diterima mengharapkan sumbangan orang tua siswa.

Oleh karena sudah ada Tim Saber Pungli, Saloma tak berani lagi menerima dana apapun dari wali murid. Karena, wali murid sekolah lain (selain tingkat SMA) di Desa Lukit juga tidak ada dikenakan SPP. Akibatnya, Saloma harus menggaji sendiri guru-guru yang mengajar di lokal jauh tersebut.

Angkanya sangat memprihatinkan. Yaitu Rp50 ribu perbulan untuk satu guru. "Kita tidak ada dana, takut Pungli. Hanya segitu yang bisa saya bantu," kata Saloma.

Agar guru-guru bisa bertahan hidup, Saloma memberlakukan jam masuk siswa pukul 08.00 WIB. Sehingga, guru di lokal jauh bisa bekerja pada pagi harinya. "Mereka bisa bekerja, baru mengajar. Kami bertahan karena cinta pada daerah sendiri," kata Saloma.

Lama kelamaan, Saloma tidak kuat menggaji guru. Guru yang semula 11 orang kembali dikurangi menjadi 8 orang. Ia juga sedih, sudah lama mengabdi namun guru di lokal jauh tidak terdaftar di Dapodik. Saloma pun berniat mau menutup lokal jauh yang ia kelola sejak 2010. "Saya tidak kuat lagi," kata Saloma dengan nada sedih.

Rupanya, niat mau menutup lokal jauh terdengar oleh wali murid di Desa Lukit. Banyak yang minta agar lokal jauh itu diteruskan, dan mereka siap membantu seperti biaya Rp50 persiswa setiap bulannya. Hal itu telah diputuskan dalam rapat bersama pihak lokal jauh, wali murid, dan pihak desa.

"Kita sudah menggelar rapat, kita panggil semua wali murid. Berdasarkan kebijakan pemerintah desa dan masyarakat, minta lokal jauh itu tidak ditutup. Mereka sanggup membayar Rp50 ribu namun guru harus dikurangi," cerita Saloma.

Keputusan rapat itu telah disepakati bersama. Namun, Saloma berfikiran tetap akan menyelesaikan cerita lokal jauh SMAN 1 Merbau di Desa Lukit. Saloma mengaku hanya bertahan sampai 2 lokal lainnya (kelas I dan II) tamat. Setelah itu, ia mencoba akan membuka cerita baru dunia pendidikan di Desa Lukit.

"Ajaran baru 2018, kita tidak lagi meneruskan lokal jauh. Saat ini kita sedang mencoba membuat sekolah swasta. Persyaratan sedang dipersiapkan dan saat ini lagi diurus izin operasinya," beber Saloma.

Saloma berharap dengan status baru pendidikan SMA di Lukit, bisa memberikan semangat baru bagi guru-guru. Mereka akan terdaftar di Dapodik, bisa mengelola dana sendiri, dan tentu tidak bergantung dari sekolah seperti sejak tahun 2010.

Jika masih lokal jauh, kata Saloma juga, mereka akan selamanya menumpang di gedung MDA. Sebab, Ia sudah bosan memasukkan proposal bantuan bangunan baik ke pemerintah, maupun pihak swasta (Perusahaan, red). Proposal itu sama sekali tidak membuahkan hasil, meski pihak perusahaan kabarnya telah survei ke lokasi lokal jauh.

"Ajaran 2017/2018 siswa kami ada 36 orang. Saya lelah tanpa kerjasama dan perhatian pemerintah. Jika ada yang mau maju silahkan," ujar Saloma diakhir wawancara dengan Media.(grc/roc)***
   
 
 
 
 
 

Alamat Redaksi & Iklan :
 
Jl. Garuda No. 76 E Labuhbaru
Pekanbaru, Riau-Indonesia
  Mobile  : 081268650077
Email : yhalawa2014@gmail.com